SITI MAGHFIRAH ABDUL ARTIKEL PERDARAHAN POSTPARTUM








NAMA: SITI MAGHFIRAH ABDUL


ARTIKEL PERDARAHAN POSTPARTUM

 2.1.1 Pengertian Perdarahan Postpartum

Perdarahan postpartum adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih setelah kala III selesai (setelah plasenta lahir) (Wiknjosastro, 2000).
Fase dalam persalinan dimulai dari kala I yaitu serviks membuka kurang dari 4 cm sampai penurunan kepala dimulai, kemudian kala II dimana serviks sudah membuka lengkap sampai 10 cm atau kepala janin sudah tampak, kemudian dilanjutkan dengan kala III persalinan yang dimulai dengan lahirnya bayi dan berakhir dengan pengeluaran plasenta. Perdarahan postpartum terjadi setelah kala III persalinan selesai (Saifuddin, 2002).
Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat wanita jatuh ke dalam syok, ataupun merupakan perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus menerus dan ini juga berbahaya karena akhirnya jumlah perdarahan menjadi banyak yang mengakibatkan wanita menjadi lemas dan juga jatuh dalam syok (Mochtar, 1995).

2.1.2 Penyebab Perdarahan Postpartum
Penyebab perdarahan Postpartum antara lain :
1. Atonia uteri 50% - 60%
2. Retensio plasenta 16% - 17%


3. Sisa plasenta 23% - 24%
4. Laserasi jalan lahir 4% - 5%
5. Kelainan darah 0,5% - 0,8% (Mochtar, 1995).

2.1.3 Klasifikasi Perdarahan Postpartum

Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu (Manuaba, 1998) :
1. Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2. Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan pascapersalinan yang terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran. Perdarahan postpartum sekunder disebabkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.

2.1.4 Gejala Klinik Perdarahan Postpartum

Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru tampak pada kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinik berupa perdarahan pervaginam yang terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain (Wiknjosastro, 2005).


Perdarahan Postpartum Primer
2.2.1 Pengertian Perdarahan Postpartum Primer
Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri (Manuaba, 1998).

Penyebab Perdarahan Postpartum Primer
a. Atonia Uteri

Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri ini adalah terjadinya perdarahan. Perdarahan pada atonia uteri ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang lepas sebagian atau lepas keseluruhan (Faisal, 2008).
Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan perdarahan pasca persalinan. Miometrum lapisan tengah tersusun sebagai anyaman dan ditembus oeh pembuluh darah. Masing-masing serabut mempunyai dua buah lengkungan sehingga tiap-tiap dua buah serabut kira-kira berbentuk angka delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan otot seperti tersebut diatas, jika otot berkontraksi akan menjepit pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan menyebabkan terjadinya pendarahan pasca persalinan (Faisal, 2008).
Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat :
1. Partus lama
2. Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil, seperti pada hamil kembar, hidramnion atau janin besar
3. Multiparitas
4. Anestesi yang dalam
5. Anestesi lumbal

Selain karena sebab di atas atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan, yaitu memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan plasenta, dimana sebenarnya plasenta belum terlepas dari dinding uterus (Wiknjosastro, 2005).
b. Retensio Plasenta

Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir. Hal tersebut disebabkan (Wiknjosastro, 2005) :
1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
2. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.

Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan, tapi bila sebagian plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan dan ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus disebabkan :
1. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva)
2. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus desidua sampai miometrium (plasenta akreta)
3. Plasenta merekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus sampai di bawah peritoneum (plasenta perkreta).

Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran kontriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).


c. Sisa Plasenta
Sewaktu suatu bagian dari plasenta tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Perdarahan postpartum yang terjadi segera jarang disebabkan oleh retensi potongan-potongan kecil plasenta. Inspeksi plasenta segera setelah persalinan bayi harus menjadi tindakan rutin. Jika ada bagian plasenta yang hilang, uterus harus dieksplorasi dan potongan plasenta dikeluarkan (Faisal, 2008).


d. Robekan Jalan Lahir

Robekan jalan lahir dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan serviks atau vagina (Saifuddin, 2002). Setelah persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva dan perineum. Pemeriksaan vagina dan serviks dengan spekulum juga perlu dilakukan setelah persalinan.




Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus dievaluasi yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus (ruptura uteri). Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dan robekan jalan lahir dengan perdarahan bersifat arterill atau pecahnya pembuluh darah vena. Untuk dapat menetapkan sumber perdarahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan spekulum setelah sumber perdarahan diketahui dengan pasti, perdarahan dihentikan dengan melakukan ligasi (Manuaba, 1998).


e. Inversio Uteri
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke dalam kavum uteri, dapat secara mendadak atau terjadi perlahan (Manuaba, 1998).
Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Peristiwa ini jarang sekali ditemukan, terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. Sebab inversio uteri yang tersering adalah kesalahan dalam memimpin kala III, yaitu menekan fundus uteri terlalu kuat dan menarik tali pusat pada plasenta yang belum terlepas dari insersinya. Menurut perkembangannya inversio uteri dibagi dalam beberapa tingkat (Wiknjosastro, 2005) :


1. Fundus uteri menonjol ke dalam kavum uteri, tetapi belum keluar dari ruang tersebut
2. Korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina
3. Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak di luar vagina.
Gejala-gejala inversio uteri pada permulaan tidak selalu jelas. Akan tetapi, apabila kelainan itu sejak awal tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa nyeri yang keras dan bisa menyebabkan syok. 2.3 Penanganan Perdarahan Postpartum Primer









2.3.1 Pencegahan Perdarahan Postpartum Primer

Penanganan terbaik perdarahan postpartum adalah pencegahan. Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang disangka akan terjadiperdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun sudah dimulai sejak wanita hamil dengan antenatal care yang baik. Pengawasan antenatal memberikan manfaat dengan ditemukannya berbagai kelainan secara dini, sehingga dapat diperhitungkan dan dipersiapkan langkah-langkah dalam pertolongan persalinannya. Kunjungan pelayanan antenatal bagi ibu hamil paling sedikit 4 kali kunjungan dengan distribusi sekali pada trimester I, sekali trimester II, dan dua kali pada trimester III.

Anemia dalam kehamilan harus diobati karena perdarahan dalam batas-batas normal dapat membahayakan penderita yang sudah anemia. Kadar fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan yang banyak, kematian janin dalam uterus dan solusio plasenta. Apabila sebelumnya penderita sudah mengalami perdarahan postpartum, persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah dan bila mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi persalinan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan obat-obatan penguat rahim (uterus tonikum). Setelah ketuban pecah kepala janin mulai membuka vulva, infus dipasang dan sewaktu bayi lahir diberikan ampul methergin atau kombinasi 5 satuan sintosinon (sintometrin intravena) (Mochtar, 1995).
Dalam kala III uterus jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum plasenta lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah perdarahan postpartum. Sepuluh satuan oksitosin diberikan intramuskulus segera setelah anak lahir untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin intramuskulus. Kadang-kadang pemberian ergometrin, setelah bahu depan bayi lahir dengan tekanan pada fundus uteri plasentadapat dikeluarkan dengan segera tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu kerugian dari pemberian ergometrin setelah bahu depan bayi lahir adalah kemungkinan terjadinya jepitan (trapping) terhadap bayi kedua pada persalinan gemelli yang tidak diketahui sebelumnya (Wiknjosastro, 2005).

Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir dua hal harus dilakukan, yakni menghentikan perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Setelah plasenta lahir perlu ditentukan apakah disini dihadapi perdarahan karena atonia uteri atau karena perlukaan jalan lahir. Jika plasenta belum lahir (retensio plasenta), segera dilakukan tindakan untuk mengeluarkannya (Wiknjosastro, 2005).

2.3.2 Manajemen Aktif Kala III

Manajemen aktif persalinan kala III terdiri atas intervensi yang direncanakan untuk mempercepat pelepasan plasenta dengan meningkatkan kontraksi rahim dan untuk mencegah perdarahan pasca persalinan dengan menghindari atonia uteri, komponennya adalah (Shane, 2002) :





a. Memberikan obat uterotonika (untuk kontraksi rahim) dalam waktu dua menit setelah kelahiran bayi

Penyuntikan obat uterotonika segera setelah melahirkan bayi adalah salah satu intervensi paling penting yang digunakan untuk mencegah perdarahan pasca persalinan. Obat uterotonika yang paling umum digunakan adalah oxytocin yang terbukti sangat efektif dalam mengurangi kasus perdarahan pasca persalinan dan persalinan lama. Syntometrine (campuran ergometrine dan oxytocin) ternyata lebih efektif dari oxytocin saja. Namun, syntometrine dikaitkan dengan lebih banyak efek
samping seperti sakit kepala, mual, muntah, dan tekanan darah tinggi. Prostaglandin juga efektif untuk mengendalikan perdarahan, tetapi secara umum lebih mahal dan memiliki bebagai efek samping termasuk diarrhea, muntah dan sakit perut.

b. Menjepit dan memotong tali pusat segera setelah melahirkan

Pada manajemen aktif persalinan kala III, tali pusat segera dijepit dan dipotong setelah persalinan, untuk memungkinkan intervensi manajemen aktif lain. Penjepitan segera dapat mengurangi jumlah darah plasenta yang dialirkan pada bayi yang baru lahir. Diperkirakan penjepitan tali pusat secara dini dapat mencegah 20% sampai 50% darah janin mengalir dari plasenta ke bayi. Berkurangnya aliran darah mengakibatkan tingkat hematokrit dan hemoglobin yang lebih rendah pada bayi baru lahir, dan dapat mempunyai pengaruh anemia zat besi pada pertumbuhan bayi. Satu kemungkinan manfaat bagi bayi pada penjepitan dini adalah potensi berkurangnya penularan penyakit dari darah pada kelahiran seperti HIV.
c. Melakukan penegangan tali pusat terkendali sambil secara bersamaan melakukan tekanan terhadap rahim melalui perut

Penegangan tali pusat terkendali mencakup menarik tali pusat ke bawah dengan sangat hati-hati begitu rahim telah berkontraksi, sambil secara bersamaan memberikan tekanan ke atas pada rahim dengan mendorong perut sedikit di atas tulang pinggang. Dengan melakukannya hanya selama kontraksi rahim, maka mendorong tali pusat secara hati-hati ini membantu plasenta untuk keluar. Tegangan pada tali pusat harus dihentikan setelah 30 atau 40 detik bila plasenta tidak turun, tetapi tegangan dapat diusahakan lagi pada kontraksi rahim yang berikut.

2.4 Beberapa Faktor yang Memengaruhi Perdarahan Postpartum Primer

2.4.1 Umur

Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan pasca persalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pasca persalinan terutama perdarahan akan lebih besar (Faisal, 2008).
Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun (Wiknjosastro, 2005)
Menurut BKKBN (2007) bahwa jika ingin memiliki kesehatan reproduksi yang prima seyogyanya harus menghindari “4 terlalu” dimana dua diantaranya adalah menyangkut dengan usia ibu. T yang pertama yaitu terlalu muda artinya hamil pada usia kurang dari 20 tahun. Adapun risiko yang mungkin terjadi jika hamil di bawah 20 tahun antara lain keguguran, preeklampsia (tekanan darah tiggi, oedema, proteinuria), eklampsia (keracunan kehamilan), timbulnya kesulitan persalinan karena sistem reproduksi belum sempurna, bayi lahir sebelum waktunya, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), fistula vesikovaginal (merembesnya air seni ke vagina), fistula
retrovaginal (keluarnya gas dan tinja dari vagina) dan kanker leher rahim. T yang kedua adalah terlalu tua artinya hamil di atas usia 35 tahun. Risiko yang mungkin terjadi jika hamil pada usia terlalu tua ini antara lain adalah terjadinya keguguran, preeklampsia, eklampsia, timbulnya kesulitan pada persalinan, perdarahan, BBLR dan cacat bawaan (Suryani, 2008).
Menurut penelitian Pardosi (2005), bahwa pada tingkat kepercayaan 95% ibu yang berumur di bawah 20 tahun atau di atas 30 tahun memiliki risiko mengalami perdarahan postpartum 3,3 kali lebih besar dibandingkan ibu yang berumur 20 sampai 29 tahun. Selain itu penelitian Najah (2004) menyatakan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% umur ibu di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun bermakna sebagai faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum.



2.4.2 Pendidikan

Menurut Depkes RI (2002), pendidikan yang dijalani seseorang memiliki pengaruh pada peningkatan kemampuan berfikir, dimana seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan dapat mengambil keputusan yang lebih rasional, umumnya terbuka untuk menerima perubahan atau hal baru dibandingkan dengan individu yang berpendidikan lebih rendah.
Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah-masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan
kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadarannya melalui proses pembelajaran (Notoatmodjo, 2003).
Wanita dengan pendidikan lebih tinggi cenderung untuk menikah pada usia yang lebih tua, menunda kehamilan, mau mengikuti Keluarga Berencana (KB), dan mencari pelayanan antenatal dan persalinan. Selain itu, mereka juga tidak akan mencari pertolongan dukun bila hamil atau bersalin dan juga dapat memilih makanan yang bergizi.
Menurut Thadeus dan Maine (1990) yang dikutip dari Suryani (2008), dari beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara penggunaan pelayanan obstetri dan tingkat pendidikan ibu.



2.4.3 Paritas

Paritas merupakan faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum primer. Pada paritas yang rendah (paritas 1) dapat menyebabkan ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan sehingga ibu hamil tidak mampu dalam menangani komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas. Sedangkan semakin sering wanita mengalami kehamilan dan melahirkan (paritas lebih dari 3) maka uterus semakin lemah sehingga besar risiko komplikasi kehamilan (Manuaba, 1998).
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan pascapersalinan lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas
1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik yang lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan (Wiknjosastro, 2005).
Menurut penelitian Herianto (2003) bahwa paritas lebih dari 3 bermakna sebagai faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum primer (OR=2,87; 95% CI 1,23;6,73). Penelitian Miswarti (2007) menyatakan proporsi ibu yang mengalami perdarahan postpartum primer dengan paritas 1 sebesar 12%, paritas 2-3 sebesar 40% dan paritas lebih dari 3 sebesar 48%, serta terdapat hubungan yang signifikan antara paritas dengan perdarahan postpartum primer. Demikian juga dengan penelitian Milaraswati (2008) menyatakan bahwa proporsi ibu yang mengalami perdarahan postpartum primer dengan paritas >4 yaitu 69% dan didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara paritas dengan perdarahan postpartum primer.

2.4.4 Jarak Antar Kelahiran

Jarak antar kelahiran adalah waktu sejak kelahiran sebelumnya sampai terjadinya kelahiran berikutnya. Jarak antar kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan terjadinya komplikasi kehamilan. Menurut Moir dan Meyerscough (1972) yang dikutip Suryani (2008) menyebutkan jarak antar kelahiran sebagai faktor predisposisi perdarahan postpartum karena persalinan yang berturut-turut dalam jangka waktu yang singkat akan mengakibatkan kontraksi uterus menjadi kurang baik. Selama kehamilan berikutnya dibutuhkan 2-4 tahun agar kondisi tubuh ibu kembali seperti kondisi sebelumnya.
Bila jarak antar kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari 2 tahun, rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik. Kehamilan dalam keadaan ini perlu diwaspadai karena ada kemungkinan terjadinya perdarahan pasca persalinan.
Menurut penelitian Yuniarti (2004) proporsi kasus dengan jarak antar kelahiran kurang dari 2 tahun sebesar 41% dengan OR jarak antar kelahiran 2,82. Hal ini berarti ibu yang memiliki jarak antar kelahiran kurang dari 2 tahun berisiko 2,82 kali mengalami perdarahan pasca persalinan.
2.4.5 Riwayat Persalinan Buruk Sebelumnya

Riwayat persalinan di masa lampau sangat berhubungan dengan hasil kehamilan dan persalinan berikutnya. Bila riwayat persalinan yang lalu buruk petugas harus waspada terhadap terjadinya komplikasi dalam persalinan yang akan berlangsung. Riwayat persalinan buruk ini dapat berupa abortus, kematian janin, eklampsi dan preeklampsi, sectio caesarea, persalinan sulit atau lama, janin besar, infeksi dan pernah mengalami perdarahan antepartum dan postpartum.
Menurut Sulistiowati (2001) yang dikutip Suryani (2008), bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat persalinan buruk sebelumnya dengan perdarahan pasca persalinan dan menemukan OR 2,4 kali pada ibu yang memiliki riwayat persalinan buruk dibanding dengan ibu yang tidak memiliki riwayat persalinan buruk.

2.4.6 Anemia

Menurut World Health Organization (WHO) anemia pada ibu hamil adalah kondisi dengan kadar hemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari 11,0 gr%.
Volume darah ibu hamil bertambah lebih kurang sampai 50% yang menyebabkan konsentrasi sel darah merah mengalami penurunan. Bertambahnya sel darah merah masih kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma darah sehingga terjadi pengenceran darah. Perbandingan tersebut adalah plasma 30%, sel darah 18% dan haemoglobin 19%. Keadaan ini tidak normal bila konsentrasi turun terlalu rendah yang menyebabkan hemoglobin sampai <11 gr%. Meningkatnya volume darah berarti meningkatkan pula jumlah zat besi yang dibutuhkan untuk memproduksi sel-sel darah merah sehingga tubuh dapat menormalkan konsentrasi hemoglobin sebagai protein pengankut oksigen (Winkjosastro, 2000).
Anemia dapat mengurangi daya tahan tubuh ibu dan meninggikan frekuensi komplikasi kehamilan serta persalinan. Anemia juga menyebabkan peningkatan risiko perdarahan pasca persalinan. Rasa cepat lelah pada penderita anemia disebabkan metabolisme energi oleh otot tidak berjalan secara sempurna karena kekurangan oksigen. Selama hamil diperlukan lebih banyak zat besi untuk menghasilkan sel darah merah karena ibu harus memenuhi kebutuhan janin dan dirinya sendiri dan saat bersalin ibu membutuhkan hemoglobin untuk memberikan energi agar otot-otot uterus dapat berkontraksi dengan baik.
Pemeriksaan dan pengawasan hemoglobin dapat dilakukan dengan menggunakan alat sahli. Hasil pemeriksaan dengan alat sahli dapat digolongkan sebagai berikut (Manuaba, 1998) :

1. Hb > 11,0 gr% disebut tidak anemia
2. Hb 9,0 gr% - 10,9 gr% disebut anemia ringan
3. Hb 7,0 gr% - 8,9 gr% disebut anemia sedang
4. Hb < 6,9 gr% disebut anemia berat

Pemeriksaan darah dilakukan minimal dua kali selama kehamilan, yaitu pada trimester I dan trimester III.
Menurut penelitian Herianto (2003) bahwa anemia bermakna sebagai faktor risiko yang mempengaruhi perdarahan postpartum primer. Ibu yang mengalami anemia berisiko 2,8 kali mengalami perdarahan postpartum primer dibanding ibu yang tidak mengalami anemia (OR= 2,76; 95% CI 1,25;6,12).

2.5 Pengaruh Paritas terhadap Perdarahan Postpartum Primer

Paritas atau para adalah wanita yang pernah melahirkan bayi (Manuaba, 1998).
Paritas adalah keadaan seorang wanita sehubungan dengan kelahiran anak yang dapat hidup (Dorland, 2002).
Menurut Prawirohardjo (2002), paritas dapat dibedakan menjadi primipara, multipara dan grandemultipara.
1. Primipara

Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak yang cukup besar untuk hidup di dunia luar.
3 Multipara

Multipara adalah wanita yang telah melahirkan anak lebih dari satu kali.

4 Grandemultipara

Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih dan biasanya mengalami penyulit dalam kehamilan dan persalinan.
Kematian maternal lebih banyak terjadi dalam 24 jam pertama postpartum yang sebagian besar karena terlalu banyak mengeluarkan darah. Sebab yang paling umum dari perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pascapersalinan atau yang biasa disebut perdarahan postpartum primer adalah kegagalan rahim untuk berkontraksi sebagaimana mestinya setelah melahirkan, plasenta yang tertinggal dan uterus yang turun atau inversi. Dari beberapa sebab perdarahan tersebut, salah satu faktor pemicunya adalah paritas (Milaraswati, 2008).
Pada paritas yang rendah (paritas 1), menyebabkan ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan sehingga ibu hamil tidak mampu dalam menangani komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas. Pada paritas tinggi (lebih dari 3), fungsi reproduksi mengalami penurunan, otot uterus terlalu regang dan kurang dapat berkontraksi dengan baik sehingga kemungkinan terjadi perdarahan pascapersalinan menjadi lebih besar (Manuaba, 1998).
2.6 Regresi Logistik
2.6.1 Pengertian Regresi Logistik

Regresi logistik adalah suatu model matematik yang digunakan untuk menganalisis hubungan satu atau beberapa variabel independen dengan sebuah variabel dependen kategorik yang bersifat dikotomous (binary). Variabel yang bersifat dikotomous adalah variabel yang hanya memiliki dua nilai, misalnya hidup
Universitas Sumatera Utara
dan mati, sakit dan sehat, BBLR dan normal, merokok dan tidak merokok dan sebagainya (Yasril, 2009).
Pada regresi logistik, variabel independen yang digunakan dapat berupa variabel kategorik maupun numerik. Namun sebaiknya menggunakan variabel kategorik agar lebih mudah dalam menginterpretasikan hasil analisisnya. Bila salah satu atau beberapa variabel independen merupakan variabel dengan skala nominal dengan 3 atau lebih kategori, maka harus dibuat dummy variable yang menggambarkan kategori dari variabel tersebut dengan referrence group-nya salah satu dari kategori tersebut.









Iklan Tengah Artikel 2